Tiga Puluh #5CC2

#5CC2023 #5CC #5CC2 #bentangpustaka #writingcareerclass #fiksi

Oleh: Hilma Humairah

"Jadi, mau ngomong apa, Mas?" Nida akhirnya bersuara setelah segelas jus nanas miliknya tandas.

Sebetulnya, tanpa Jafar bercerita pun, Nida sudah tahu semuanya. Dia merasa tidak perlu mempersiapkan apa-apa.

"Emm.. aku bingung harus mulai cerita darimana, Nid." Jafar mulai terlihat salah tingkah.

"Hmm.. mungkin kita bisa mulai dari membahas Lestari, Mas?" Nida bertanya sarkastis. Wajah Jafar memucat, matanya membulat, menahan sekuat hati rasa terkejutnya. 

Kedua orang itu beradu pandang cukup lama. 

"Jadi kamu udah tahu?" , ungkap Jafar.

"Sadarlah, dunia ini tidak berada di bawah kekuasaanmu, Mas. Terkadang orang pura-pura bodoh hanya untuk menjaga perasaanmu." Nida bergumam dalam hati.

 "Gimana menurutmu? Hubungan kita sampai di sini aja? Kita berpisah baik-baik?"

"Nah, kan, sudah kuduga akhirnya memang akan begini. Kamu lebih memilih perempuan itu" Nida masih bersuara dalam diam.

Nida menarik napas panjang, mengumpulkan segenap kekuatannya. 

"Aku sudah lama menyiapkan jawaban untuk pertanyaan itu, Mas. Lagipula, sejak awal kita menjalin hubungan memang tanpa restu Ibumu kan. Ibumu gak setuju dengan hubungan kita karena usiaku yang sudah menginjak 30 tahun. Ibumu bilang, perempuan berumur 30 itu sudah memasuki masa kadaluarsa, susah punya anak, kalau diibaratkan ya seperti ujung penghabisan sebuah tebu, udah nggak ada manis-manisnya. Ibumu juga bilang ingin punya menantu dari keluarga yang utuh dan harmonis, sedangkan Mas kan tahu sendiri, aku dari keluarga brokenhome." 

Di titik ini wajah Nida terangkat sedikit, ia berusaha menahan bendungan airmatanya tanpa perlu menyeka. 

"Aku.. rela kalau kita harus berpisah." Nida tersenyum, lalu memilih pergi. Meninggalkan Jafar yang belum sempat menjawab. 

Pria itu masih di tempat duduknya, tidak berkata apa-apa. Tampaknya ia tak menyangka Nida akan mengetahui perselingkuhannya dengan Lestari, wanita pilihan ibunya. 

Semua ingatan tentang Nida terlintas di kepala Jafar. Selama ini ia yang memaksa Nida untuk tetap melanjutkan hubungan meski tak direstui ibunya, meski ia tahu perjuangan dan segala kebaikan Nida tidak bernilai di mata ibunya. Bayangan kebaikan-kebaikan Nida semakin jelas di pikirannya. Penyesalan menyeruak ke seluruh penjuru hati Jafar. Bagaimana bisa ia tega mengkhianati Nida. Bagaimana bisa selama ini ia merasa menjadi korban keadaan, padahal ia lah penjahat yang sesungguhnya. 

******

"Lo beneran putus, Nid? Serius? Gue kira Lo bakal dilamar tadi di restoran. Wah, gila sih nih si Jafar, pengen banget gue tebas batang lehernya, sekalian gue gantung tuh pankreasnya di pohon beringin. Biar diabetes, kekurangan insulin. Kebanyakan janji manis sih." Sarah langsung nyerocos dengan kesal.

"Ya udahlah, Sar, mau gimana lagi. Emang gue yang tolol dari awal. Gampang percaya gitu aja sama dia. Dia sempet ngeyakinin gue kalau semuanya bakal baik-baik aja. Dia bilang ibunya bakal ngerestuin suatu saat nanti kalau kami berjuang bareng-bareng. Padahal ibunya jelas-jelas ngomong langsung ke gue, gak setuju sama hubungan ini." Wajah Nida tampak sedih. "Tapi, biarin aja deh, gue belum ngapa-ngapain juga sama Jafar, aman, kan ta'arufan ceritanya." lanjut  Nida sok tegar.

"Hilih.. giling tuh anak. Kalau mau mewek mah ya mewek aja, Nid. Gak usah ditahan-tahan. Ta'arufan.. ta'arufan.. suruh aja dia main film drama sekalian, kupinang kau dengan sodaqollohul adzim", Sarah berguyon di tengah kekesalannya pada Jafar.

"Yang sabar ya, Nid. Emang Jafar bukan jodoh Lo kali. Nanti ada yang lebih baik dari dia. Lagian nikah bukan akhir dari segalanya loh. Gak ada tuh cerita hidup bahagia selamanya kayak di dongeng-dongeng. Gue aja bisa kumpul di sini dramanya banyak banget. Ngurus ini lah, itu lah, nitipin anak dulu lah. Kalau anak gue ikut, ya gak bakal khusyuk nih ngobrolnya. Jujur, gue capek banget ngurus anak-anak dan suami gue, belum lagi konflik sama mertua dan adek ipar gue, kalau gue lagi gak waras rasanya pengen balik lagi jadi single." Bela ikut nimbrung. Memuntahkan segala unek-uneknya selama berumah tangga.

"Makasih ya, Bel, Sar, udah luangin waktu ke rumah gue. Kalian ada di saat gue butuh", Nida tersenyum setelah menyeka airmatanya.

"Eh, gais, tahu gak? Kita tuh perlu nemuin titik dimana kita bisa merasa jadi orang paling beruntung, supaya gak sedih-sedih amat menjalani hidup. Misal, gue nih, janda, orang yang lihat gue mungkin kasihan, yah cerai ama lakinya, yah mana mandul gak bisa punya anak. Padahal.. gue merasa gue beruntung. Pertama, gue udah bebas dari lelaki toxic nan dzolim. Kedua, gue bisa fokus sama diri gue sendiri. Ketiga, kalau gue mati sekarang, ya nanti di akhirat, gue gak perlu mempertanggungjawabkan amal gue terkait anak dan suami. Dan elo nih Nida, Lo beruntung, Lo gak jadi nikah ama laki tukang selingkuh dan gak amanah, kalau sekarang Lo mati ya bebas hisab juga dari mempertanggungjawabkan laki dan anak Lo, Lo punya kerjaan, punya duit, bisa bebas jalan-jalan kemanapun yang Lo mau, Lo bisa beli apapun yang Lo mau, tanpa kudu ijin dulu sama laki Lo. Jadi yatim piatu? Justru Lo beruntung, Nid. Sekarang bokap nyokap Lo udah gak sakit-sakit lagi, Lo gak punya beban buat ngurus dan ngerawat mereka lagi, tinggal Lo istiqomah jadi anak sholehah, tinggal Lo rajin doakan mereka supaya mendapat nikmat kubur yang semakin bertambah dari hari ke hari. Pokoknya cari dan temuin hal apa yang bikin kita ngerasa beruntung dari kondisi yang lagi kita jalanin saat ini, dijamin deh, bakal plong banget rasanya" Sarah menjelaskan dengan gaya jenakanya. 

"Bener juga. Justru gue beruntung ya saat ini, pahala berlipat ganda dengan ngurus suami dan anak. Kesabaran gue menghadapi mertua dan adek ipar boleh jadi itu jalan buat ngangkat derajat gue. Gue juga gak perlu capek-capek cari duit karena semuanya udah difasilitasi sama suami gue. Terus, kalau gue mati sekarang, gue ada harapan untuk bisa masuk surga dari pintu mana aja, asalkan suami gue ridho. Makasih udah ingetin soal merasa beruntung ini ya, Sar." ujar Bela. 

"Kadang gue pikir kita bertiga ini lucu. Kita tuh kayak burung yang sayapnya patah, terluka, nggak bisa terbang. Tapi kita saling menemukan. Lalu saling menguatkan." Nida tersenyum bahagia.

Mereka pun berpelukan. 

Nida menatap Sarah dan Bela dengan haru dan penuh rasa syukur. Beruntungnya ia mendapatkan sahabat yang selalu mengingatkannya dalam kebaikan. Ada di kala senang, menghiburnya di kala susah. Mereka bertiga sama-sama berumur 30 tahun, namun memiliki arena juang dan ujian yang berbeda-beda. 

Komentar