QLC Bagian 1: Tenggelam #5CC11

#5CC #5CC11 #careerclassQLC #bentangpustaka #writingcareerclass

[Cerita Bersambung]

Quarter Life Crisis, 
Bagian 1: Tenggelam

Oleh: Hilma Humairah

Bapak mengawali pembicaraan di meja makan saat makan malam bersama,
"Kamu ini udah umur 25 tapi kok masih gini-gini aja. Kerja, nggak. Nikah, nggak. Udah disekolahin tinggi-tinggi sampai sarjana, tapi sekarang nggak jadi apa-apa. Lanjut kuliah juga nggak. Cari beasiswa kek buat lanjut S2. Mau kamu itu apa sih, Rania? Itu anak-anak teman Bapak udah jadi orang sekarang. Ada yang udah kerja di luar negeri. Ada yang udah nikah sama konglomerat, anaknya udah 3 sekarang, ada juga yang.." 

Belum selesai Bapak bicara, Rania langsung memotong, "Bu, lauknya cuma ini aja? Aku gapapa gak usah makan malam aja ya, nggak selera" Rania bangkit dari tempat duduknya

Ini bukan kali pertama Bapak mengomeli Rania. Selama ini Rania hanya bisa diam. Diam adalah jeritan terhebatnya. Tapi sepertinya tidak untuk malam ini, kesabarannya menguap entah kemana, "Wajar anak-anak teman Bapak itu pada sukses, ya karena mereka punya bapak yang nggak kayak Bapak-ku. Bapak-ku ini bisanya marah-marah, nyalahin, ngomelin, nuntut, tapi gagal jadi contoh dan teladan. Sadar Pak, selama ini yang membiayai aku makan, sekolah, dan kuliah sampai jadi sarjana itu bukan Bapak, tapi Ibu. Bapak tanpa ada Ibu, mau jadi apa? Gak bakal jadi apa-apa, gak bakal jadi siapa-siapa juga." sedetik kemudian Rania tersadar bahwa ucapannya tidak pantas

Rania terkejut dengan perkataannya sendiri, tapi itulah yang selama ini dirasakannya. Bertahun-tahun ia memendam kemarahan, kekecewaan, kesedihan, dan segala rasa yang sebenarnya ingin ia umpatkan. Bapak yang hadir di tengah-tengah keluarga tapi tidak berfungsi selayaknya suami bagi ibunya, tidak pula berperan selayaknya ayah bagi dirinya. Sedangkan Ibu, hadir dalam hidupnya tapi tidak pernah hadir dalam jiwanya karena Ibu lebih sibuk bekerja untuk menafkahi keluarga daripada membersamainya. Kakak? Kakak lelaki Rania, bernama Arya, diusir Bapak dari rumah sejak 7 tahun yang lalu karena telah menghamili anak gadis orang, sampai sekarang tidak ada lagi kabar darinya.

Rania beranjak dari meja makan, buru-buru masuk ke kamar. Samar-samar terdengar suara Ibu yang terus berupaya untuk menenangkan amarah Bapak.

Rania menatap dirinya di cermin, ia berkata kepada dirinya sendiri,
"Roda kehidupanmu berputar dari hari ke hari. Tapi kamu nggak tahu apa yang sebenarnya kamu cari. Kuliah tapi nggak mengerti kenapa kamu mengambil jurusan yang kamu pilih. Setelah lulus, kamu juga nggak tahu mau kerja apa, dimana. Menikah? Hei, memangnya siapa yang mau menikahi anak perempuan dari keluarga berantakan seperti keluargamu ini? Kamu menjalani hari tanpa benar-benar tahu apa yang sedang kamu hadapi, seperti menceburkan diri ke lautan tanpa tahu bagaimana caranya berenang. Bukankah itu jalan sempurna untuk tenggelam? Sampai kapan mau begini? Berhenti berangan-angan ingin menjadi seperti orang lain. Enek ya jadi diri sendiri? Mual? Pengen muntah? Kalau kamu jadi orang lain, nanti siapa yang jadi kamu? Nggak ada jalan pintas kemanapun arah tujuan. Lakukanlah sesuatu, supaya kamu bisa terselamatkan." 

Rania membanting tubuhnya ke kasur, memandang langit-langit kamar. Kali ini mulutnya diam tak bicara, tapi pikirannya bergemuruh dengan banyak suara. 

Bersambung...








Komentar