Melanjutkan Hidup #5CC5

#5CC2023 #5CC #5CC5 #bentangpustaka #writingcareerclass

Oleh: Hilma Humairah 

Awalnya, aku kira melanjutkan hidup setelah ditinggalkan oleh kedua orangtuaku adalah hal yang tidak mungkin. Ibarat terbiasa tinggal di kota asri, sejuk dan nyaman dalam kurun waktu yang lama, lalu tiba-tiba saja tsunami datang meluluhlantakan dan meratakan semuanya dengan tanah. Tanpa peringatan. Tanpa aba-aba. 

Saat itu, rasanya seperti kulit dan dagingku dicabut secara paksa dari tulangku. Benar kata orang, saat seseorang mati, yang pergi bukan hanya jiwanya, ia juga turut membawa separuh jiwa orang yang ditinggalkannya. 

Orang-orang datang menghiburku dengan kalimat-kalimat yang sebetulnya tidak aku butuhkan, seperti "Kamu hebat, kamu yang dipilih Allah untuk mengalami ujian ini, artinya kamu itu kuat." 

Atau, "Yang kuat ya, jangan menangis, mereka sudah tenang dan bahagia di sana."

Percayalah, orang yang sedang berduka cita tidak membutuhkan kalimat-kalimat pujian dan penguat seperti itu. Itu malah terasa menganggu dan menyakitkan.

Jika kuat itu artinya tak boleh menangis, tak boleh berduka, harus berpura-pura semuanya baik-baik saja, maka aku tak mau menjadi kuat. Aku hanya ingin diberi ruang untuk bisa merasakan semuanya. Biarkan aku menjadi manusia. Ijinkan aku untuk menangis sepuasnya, menghabiskan rasa berduka dengan segala kesakitan di dalamnya.

Bagiku, hati yang sedang terpuruk ibarat suatu negeri yang tandus. Panas gaharnya tak menumbuhkan buah kebaikan apapun, kecuali hampa dan keputusasaan. Aku butuh menangis, sambil terus bermunajat kepada-Nya, agar Dia membawa air mataku untuk menghujani hatiku. Menghidupkan rasa ber-Tuhan yang hampa, menjadi bermakna. Hingga buah-buah kebaikan pun tumbuh di sana (hatiku).

Bagiku, air mata mampu membasuh luka dan memberikan kekuatan yang baru. Air mata adalah awal mula kebangkitanku.

Beberapa tahun setelah kematian mereka, kadang aku merasa lukaku sudah sembuh, traumaku sudah pulih. Tapi, ternyata aku tak sepenuhnya benar. Di siang hari, aku bisa tertawa dan terlihat baik-baik saja. Namun, di malam hari, ingatan-ingatan pedih itu datang menyapaku lagi. 

Trauma itu seperti debu yang perlu aku bersihkan. Untuk membersihkannya, aku butuh cahaya. Dengan cahaya, aku bisa melihat traumaku dengan lebih jelas. Darimana cahaya itu bisa aku dapatkan? Tentu dengan aku bergerak, berikhtiar. Bukan hanya dengan menangis dan mengurung diri di dalam kamar terus menerus. 

Menjalani hari-hari tanpa kedua orangtuaku, rasanya seperti berada di terowongan yang gelap, panjang, dan sepi. Di dalamnya aku tak mampu melihat apapun. Rasanya tak ada siapapun yang memegang tanganku dan menuntunku keluar. Hanya ada aku dan air mataku. Karena itu aku perlu bergerak, keluar dari kamar, bertemu dengan orang-orang baru, berikhtiar mencari seorang ahli yang bisa membantuku. 

Duka terlalu berat untuk kupikul sendiri. Bertemu dengan orang-orang yang aku butuhkan memang tidak serta merta menghapuskan duka. Namun, setidaknya membuat aku merasa lebih tenang dalam menjalani hidup karena tahu bahwa dalam terowongan ini aku tidak berjalan dan berjuang sendirian. 

Komentar