Daripada Berandai-andai #5CC1

#5CC2023 #5CC #5CC1 #bentangpustaka #writingcareerclass #fiksi

Oleh : Hilma Humairah 

Sudah 2 jam berlalu, Tiara masih duduk melamun sambil menatap buku catatan di atas meja belajarnya. Ia memutar-mutar bolpoin dengan ritme yang semakin cepat, seiring dengan kegelisahannya yang semakin meningkat. 

Ibunya yang melihat gelagat tak biasa dari anak semata wayangnya itu langsung menegur, "Dek, kenapa? Daritadi ibu lihat, kamu cuma bengong aja, pusing ngerjain PR nya?"

Tiara tak menggubris, seolah tak mendengar suara ibunya. "Dek.. Dek.. kenapa sih, Dek?" Ibu meninggikan intonasi suara. 

Tiara pun tersadar dari lamunannya, "Eh.. ya, Bu. Ini aku bingung mau nulis apa. Tugas Bahasa Indonesia, disuruh nulis tentang ayah, besok dikumpulin, besok kan Hari Ayah". Sebelum Ibu merespon, Tiara melanjutkan, "Seandainya Ibu menikah bukan sama Ayah, mungkin sekarang kita udah jadi keluarga bahagia ya, Bu. Dan aku gak perlu kesulitan ngerjain tugas dari Bu Lina ini. Aku bingung mau nulis apa, tentang kebaikannya, gak ada. Tentang keburukannya, ya masa aku buka aib ayahku sendiri, Bu?"

Ibu tersenyum, mendekati Tiara lalu mengusap kepalanya dengan lembut. Kejadian 10 tahun yang lalu cukup untuk membuat Tiara trauma dan sangat membenci ayahnya. Saat itu, Tiara sempat melihat ibu dicaci maki oleh ayahnya dan dipukuli bertubi-tubi. Proses perceraian ayah dan ibunya yang alot dan penuh drama masih terekam jelas di ingatan Tiara. Tiara merasa ayahnya bukanlah ayah yang baik, sosok ayah yang seharusnya menjadi orang yang melindungi keluarga, justru malah menjadi ujian terberat bagi kehidupan Tiara dan ibunya. Setelah bercerai pun, ayah Tiara tak berhenti membuat ulah, ada saja kelakuannya yang membuat ibu dan Tiara tak habis pikir, kenapa ayahnya bisa menjadi sumber malapetaka bagi kehidupannya. Karena ulah ayahnya itu, Tiara dan ibunya harus pindah keluar pulau, sejauh mungkin, hanya untuk bisa memulai hidup baru dengan merasa aman dan nyaman. 

"Dek, apakah ingatan adalah hal yang bisa kita percayai setiap waktu?" Ibu bertanya dengan nada suara yang lembut. Tiara tak merespon, ibu melanjutkan, "Selama ini kamu mengingat ayahmu sebagai orang yang jahat, gak pernah peduli, gak pernah bertanya apa kamu bahagia atau nggak, gak pernah berusaha mencari tahu apa yang kamu sukai, gak pernah berusaha memahamimu, gak pernah membahagiakanmu. Dan karena ingatan-ingatanmu itu, kamu membenci ayah sampai ke ubun-ubun". Tiara masih diam tak menjawab. "Gimana kalau ibu menceritakan kisah lain yang nggak pernah kamu ingat. Waktu kamu masih dalam kandungan ibu, ayahmu pernah menjemput ibu dengan tubuh basah kuyup karena ia dan motornya gak sempat menepi saat hujan turun, katanya takut ibu nunggu kelamaan. Saat itu, jas hujan cuma ada satu, tapi ibu yang disuruh ayah untuk pakai jas hujan, sedangkan ayah bawa motor sambil hujan-hujanan. Ayahmu juga gak pernah mengeluh saat mengganti popokmu, memandikanmu, meninabobokanmu, membacakan dongeng untukmu, mencuci dan menyetrika bajumu, serta membantu Ibu mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Jadi, masihkah kamu akan menggantungkan perasaan bencimu pada ingatanmu sendiri? Sedangkan ingatan itu boleh jadi bukanlah sesuatu yang utuh?"

"Itu kan aku masih bayi, Bu. Masih kecil. Mana aku inget. Kenyataannya sekarang Ayah kan emang jahat. Kadang aku kesal, kenapa dulu ibu mau diajak menikah sama Ayah, kalau udah tau Ayah jahat, harusnya Ibu gak usah menikah dengan Ayah, kalau Ibu gak menikah sama Ayah, aku pasti udah bahagia Bu, hidup kita gak akan jadi susah kayak gini." Tiara semakin meluapkan emosinya yang selama ini ia tahan-tahan. 

Ibu memeluk Tiara, "Gak ada yang bisa menjamin bahwa Ayah itu akan tetap menjadi orang yang sama baiknya seperti saat awal pernikahan. Seiring berjalannya waktu, manusia bisa berubah, Dek. Siapa yang bisa menjamin kalau nggak menikah dengan ayahmu hidup Ibu akan lebih baik? Gimana kalau malah lebih susah dan menderita? Daripada berandai-andai nggak pernah menikah dengan ayah, ibu lebih suka menerima takdir yang memang harus ibu jalani. Toh masih ada yang bisa disyukuri dari pernikahan dengan ayahmu, yaitu kehadiran kamu di hidup ibu."

Tangis Tiara meledak, "Aku gak bisa memaafkan ayah begitu aja, Bu. Aku mau ayah menderita, sama seperti yang kita rasakan". 

Ibu semakin erat memeluk Tiara, "Ibu ngerti, Dek. Kamu pasti mengalami banyak hal sulit. Maafkan ibu ya, Dek." sejurus kemudian Ibu menggenggam pipi Tiara, menatapnya dengan penuh kasih sayang, "Apa kamu yakin, membenci ayah akan membuat ayah lebih menderita? Bukankah justru malah kamu yang akan lebih menderita, disini, sekarang? Kalau kamu peduli sama masa depan dan kebahagiaanmu, kamu perlu mencabut kebencian itu dari dalam hatimu. Mengikuti dendam hanya akan membawamu ke hal-hal yang buruk. Kecemasan, kesedihan, keraguan, kemarahan yang gak ada habisnya. Kamu bisa mencabut kebencian itu, sebelum terlalu sulit. Sebelum dendam itu mengubahmu menjadi orang jahat, orang yang tak kamu kenali lagi. Kamu butuh memaafkan ayahmu, bukan demi ayah, bukan demi ibu, bukan demi siapa-siapa, tapi demi menyelamatkan dirimu sendiri. Kamu punya masa depan. Kamu masih punya pilihan, Dek." 

Tiara kehilangan kendali atas air matanya. Ia membalas pelukan ibunya dengan sangat erat. Seiring dengan airmatanya yang deras jatuh, amarahnya pun ikut luntur. Tiara merasa ibunya benar. Daripada berandai-andai tidak pernah punya ayah, lebih baik menerima semua kenyataan dengan ikhlas dan berlapang dada. Toh dirinya masih beruntung, ia masih punya ibu yang baik dan menyayanginya sepenuh hati. 

AYAH

Oleh: Tiara Nur Latifah

Ayah, apa kabar?
Kabarku masih iri aja sih, yah. Iri sama teman-teman yang akrab dengan ayahnya. Iri sama teman-teman yang diantar jemput ke sekolah oleh ayahnya. Iri sama teman-teman yang ayahnya baik, penyayang dan bertanggungjawab. 

Ayah..
Aku pernah berandai-andai.
Seandainya ayahku bukanlah ayah, apakah hidupku akan menjadi lebih baik? 
Sedangkan aku sendiri tak pernah benar-benar tahu tentang apa yang terbaik untukku.
Bukankah kekecewaan itu lahir dari berandai-andai, dari ukuran-ukuranku yang keliru tentang rasa syukur dan dari prasangka-prasangka buruk yang terus aku turuti? 

Ayah.. 
Maafkan aku..
Maafkan aku yang belum cukup dewasa untuk bersikap bijak saat Ayah terasa menyebalkan bagiku. 

Ayah..
Terima kasih..
Terima kasih sudah hadir di hidupku.
Mengajarkanku tentang arti penerimaan, pemaafan dan keikhlasan.

Tiara tersenyum melihat tulisan di buku catatannya. Tugas Bahasa Indonesia-nya kini siap untuk dikumpulkan besok. 

Komentar