Aku Tidak Bersalah #5CC7

#5CC #5CC7 #writingcareerclass #DioramaCareerClass #bentangpustaka

[Flash Fiction] 

Oleh: Hilma Humairah

Namaku Adrian Pramerkasa. Sejak kecil, aku sudah pernah merasakan hidup susah, serba kekurangan. Tak jarang, aku dibully oleh teman-temanku di sekolah karena aku sangat miskin. Beruntung, berkat kerja kerasku, aku mendapatkan beasiswa penuh untuk melanjutkan pendidikanku. Hingga aku berhasil menyandang gelar Magister Manajemen dan menjadi lulusan terbaik dari Universitas Negeri ternama. Kini, aku bekerja di instansi pemerintah yang cukup bergengsi dan terkenal dimana-mana.

Sejak menikah dengan istriku, Hafsah, aku hidup berkecukupan, tak pernah kekurangan. Mobil, tanah, rumah dan aset-aset berharga sudah aku punya. Meski dikaruniai tiga orang anak, aku memiliki tubuh yang ideal, sehat dan bugar, karena aku rajin berolahraga. Aku percaya, di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat. Dengan wajah dan tubuh rupawan, juga berharta, wajar kalau banyak wanita yang menyukaiku, bahkan tak sedikit dari mereka yang mengejar-ngejarku untuk kunikahi. 

Hari ini, tepat delapan tahun sudah, aku menjalani biduk rumah tangga. Bagiku, Hafsah adalah istri yang baik dan penyabar. Di antara semua perempuan yang pernah mengejar-ngejarku, hanya ia yang berhasil membuatku jatuh cinta. Ia sangat keibuan dan pekerja keras. Selain sibuk menjadi pengusaha, ia juga pandai mengatur urusan rumah tangga. Tidak salah aku menikahinya. Aku yakin Hafsah memang pilihanku yang terbaik. Dialah jodoh yang tepat untukku.

Sayangnya, seminggu yang lalu, istri yang sangat kucintai itu melayangkan gugatan cerai padaku. Alasannya, ia sudah tidak tahan melanjutkan pernikahan denganku. Bak diterjang badai, aku merasa sangat terkejut, kenapa tiba-tiba sekali.

"Memangnya apa salahku, bukankah selama ini pernikahan kita baik-baik saja?" ucapku pada Hafsah saat itu. 

Dan Ia hanya menjawab, "Datang aja nanti di sidang, ikuti prosesnya. Biar urusannya cepat selesai. Aku dan pengacaraku yang akan mengurus semuanya di pengadilan."

Ketiga anakku juga dibawa olehnya, pulang ke rumah orangtuanya. 

Sudah seminggu merasa cemas, kalut, tak karuan, akhirnya aku mendatangi sahabatku, Fikri. Fikri adalah kakak sepupu Hafsah. Dulu, ia juga orang yang pertama kali mempertemukanku dengan Hafsah. 

"Fik, aku gak ngerti, apa salahku? Selama ini baik-baik aja loh pernikahanku. Terus kok Hafsah tiba-tiba gugat cerai gitu aja." tanyaku

"Gak ada yang tiba-tiba donk, Dri. Gak bakal ada asap kalau gak ada api. Masa kamu gak nyadar-nyadar sih selama ini?" Fikri bertanya dengan rasa kesal yang ditahan.

"Apa salahku? Coba jelaskan!" aku meminta penjelasan

"Lihat ini", Fikri memberikan secarik kertas fotokopian yang berisi berita acara gugatan cerai dari Hafsah.

"KDRT, tidak menafkahi, berselingkuh dan berzina dengan wanita lain." Aku membacanya dengan seksama. Lalu, terputar kembali semua memori-memori di kepalaku yang membuat hatiku terasa sakit. Tapi, aku hanya terdiam. Aku merasa itu semua bukan salahku. 

"Dri, berapa kali aku bilang sama kamu. Kamu butuh bantuan ahli, seorang psikolog atau psikiater. Berkali-kali aku ngingetin kamu. Gimana bisa kamu menyakiti Hafsah terus menerus, tapi nggak tobat-tobat. Bisamu hanya minta maaf. Dan berkali-kali itu juga Hafsah memaafkanmu, berharap kamu bisa berubah, berharap pernikahan kalian bisa dipertahankan." Fikri berucap tegas memecah keheninganku sambil mencengkram kuat bahuku.

Tubuhku bergetar hebat.

Fikri melanjutkan perkataannya sambil menatap tajam ke arah mataku, "Sadarlah, Dri. Jangan sampai kamu menjadi orang munafik, tanpa kamu sadari. Jangan sampai kamu selalu merasa melakukan kebaikan, padahal selama ini kamu hanya sedang mengadakan kerusakan. Berobatlah, dan bertobatlah, kembali kepada Allah. Tolong.. tolong lepaskan Hafsah. Cukup kedzolimanmu. Cukup sampai disini." 

Kepalaku pusing. Aku bergegas pulang ke rumah, meninggalkan Fikri begitu saja.

Selama menyetir, terus menerus muncul ingatan-ingatan yang terasa sangat menyakitkan bagiku.

Setelah sampai di rumah. Aku membuka laci di meja kerjaku. Mengambil amplop yang berisi secarik kertas. Di kertas itu tertulis namaku, dan kalimat yang membuat hatiku sangat tidak nyaman, Narcissistic Personality Disorder. Iya, ini adalah hasil tes kesehatan jiwaku, tiga tahun yang lalu. Namun, tak ada seorangpun yang kuberi tahu. 

Pandanganku gelap. Saat ini, hanya hitam yang bisa kulihat. Sebentar lagi aku akan kehilangan istriku dan ketiga anakku. Di satu sisi, terdengar suara dari hati kecilku yang berkata, "Sudah cukup. Sudah banyak yang kamu lakukan untuk membuat istri dan anak-anakmu menderita". 

Namun di sisi lain, aku ingin sekali menepisnya dan berkata, "Aku tidak bersalah."




Komentar