Review Buku Jika Bersedih Dilarang, Untuk Apa Tuhan Menciptakan Air Mata Karya Urfa Qurrota Ainy

Satu kata yang bisa mengekspresikan rasa setelah aku selesai membaca buku ini. 

TERCERAHKAN. 

Saking merasa kagum dengan semua isi di buku ini, aku sampai bingung mau review buku ini darimana. Kalaupun diringkas, bagaimana meringkasnya karena kalau dipotong-potong, sayang banget, isi semua bab nya bagus. 😅
Masya Allah Tabarokalloh. 

Baiklah kalau begitu, aku akan mereview bagian yang paling aku suka ya. 

Bismillah..

Judul: Jika Bersedih Dilarang, Untuk Apa Tuhan Menciptakan Air Mata.
Penulis: Urfa Qurrota Ainy.
Penerbit: Quanta (Elex Media Komputindo).
Tebal: 267 halaman
ISBN: 978-623-00-3211-0
Harga: Rp 95,000

Buku ini banyak bonusnya. Ada gantungan kunci, surat bertandatangan dari penulis, sticker. Suka banget sama gantungan kuncinya, di satu sisi bertuliskan,
"You are worthy.
You are enough.
You deserve love.
Allah listens to you.
Allah knows your pain.
And He loves you."

Di sisi yang lain, gantungannya tertempel cermin. Lumayanlah buat ngaca 🤭

Masuk ke daftar isi ya. 

Aku menyukai semua bab nya. Bahkan setiap halamannya selalu ada makna yang membuat hatiku merasa seperti disusupi cahaya (lebay ya? Iya, baiklah 😆).

Ada part yang sangat aku sukai, diantaranya
- Islam dan Ruang-ruang Psikologis Manusia
- Hijrah dari Islam Ritual ke Islam Esensial
- Menjadi Muslim yang Sadar Mengenai Isu Kesehatan Mental
- Mengenali Emosi, Mengelola Ekspresi
- Berempati kepada mereka yang tidak memberi kita empati

Dari halaman pertama, aku udah merasa relate dengan apa yang dibahas penulis. Tentang "apakah Islam hanya untuk orang-orang yang hidupnya baik-baik saja? Yang jalan takdirnya lurus, suci, jauh dari masalah berat, tak terjamah oleh luka, tak ada penderitaan serta tak ada rasa sakit?"

Tentu saja pertanyaan itu nggak muncul begitu aja. Pemicunya adalah perilaku beragama sebagian orang yang terkesan terlalu eksklusif. Iya, eksklusif. 

Aku pernah berada di lingkungan orang yang terlihat religius, pakaiannya menutup aurat dengan rapi, muslimah banget lah gitu bahkan ada yang bercadar, tapi... mereka sering menyepelekan orang-orang yang tengah berjuang menghadapi masalahnya dengan judging, terkesan jauh pisan dari empati.

Semisal, waktu aku cerita kepada salah satu dari mereka tentang kekesalan dan kekecewaanku terhadap sikap dan perilaku bapakku (almarhum) pasca bercerai dengan ibuku (almarhumah). Ia langsung menimpali, "dosa ih!! ga boleh ngomongin bapak dan kesel kayak gitu, itu juga kan bapakmu sendiri, tanpa bapakmu, kamu ga akan lahir, banyakin lagi ibadah, banyakin berdoa, dzikir". Lah?? Masalahnya bukan dosa atau nggak, emosi marah/kesal itu nyata terjadi kan. Meski itu bapakku sendiri, namanya manusia ya bisa berbuat salah atau menyakiti manusia lainnya, sengaja atau nggak. Dan emosi marah ini hadir atas pemberian Allah juga, bukan? Kurasa marah sama bapak itu boleh, yang nggak boleh itu marah-marah di depan muka bapak. 😄

Setelah kejadian itu, aku jadi malas bercerita apa-apa lagi kepada dia ataupun "mereka". Aku merasa, ya sudahlah, aku pendam sendiri aja. Cuma aku yang bisa ngerti, orang lain mah nggak. (Ey.. kok baper, Hil? haha).

Di halaman 5, qodarullah penulis membahas hal ini. Aku merasakan kehangatan. 
"Berislam semestinya membuat kita hadir di ruang-ruang yang paling membutuhkan sentuhan Islam. Bukan sekedar ruang-ruang yang sudah terang benderang, tetapi ruang-ruang yang masih menantikan cahaya. Bukan pula sebatas ruang-ruang kesholehan pribadi, tetapi juga ruang kesholehan sosial". 

Aku setuju. Islam hadir bukan hanya untuk mereka yang sudah sholeh dan hidupnya baik-baik saja. Islam juga ada untuk memeluk kita yang terluka, tersakiti, trauma, menderita, kesusahan, tertindas, tercabut haknya. Islam bukan hanya sebatas jargon dan nasihat, melainkan sebagai penuntun yang membuat kita terus bergerak melakukan perubahan, melewati terowongan-terowongan gelap, menuju satu cahaya yang selalu kita nantikan. Akan tetapi semua itu bisa terwujud seandainya kita mau lebih banyak bertanya, belajar, mendengarkan, serta berhenti menghakimi. 

Menghakimi bukan sikap yang bijak. Orang-orang yang bermasalah, bersedih, stres, depresi, trauma, mengeluh, bukan berarti mereka tak bersyukur atau tak bersabar. Mungkin mereka sudah sangat lama memendamnya sendirian. Kita tak tau seberapa berat hidup yang ia alami. Kita tak tau pilihan-pilihan berat apa saja yang harus ia ambil.

Nah, di buku ini, penulis membuka pikiranku, ternyata memang ada orang-orang semacam itu, mudah judging, tanpa empati. Seolah menutup mata dari masalah-masalah sosial yang nyata di depan mereka. Asik hidup dalam lingkaran dan gelembung "kesholehannya" sendiri. Semoga itu bukan kita. Kalaupun kita termasuk ke dalamnya, semoga kita mau mulai belajar menjadi muslim yang pandai berempati. Kita bukan Tuhan yang berhak menilai orang lain. Tidak etis rasanya jika kita menyalahgunakan ayat-ayat suci dan sabda Rasul untuk menghakimi orang lain. Penghakiman dari kita justru bisa menjauhkan orang-orang dari Tuhan, bukan sebaliknya.

Kita semua (muslim) sepakat, Islam adalah agama yang sempurna. Tapi muslim/muslimah? Tetaplah manusia. Sebagai manusia biasa, tentu saja bisa salah, bisa tersesat, bisa bodoh, bisa gelap. Karena itu, kita sebagai manusia justru memerlukan kerendahan hati untuk mau terus menerus belajar.

Sebetulnya kita tak perlu teori yang panjang dan rumit untuk bisa berempati. Cukup perbesar ruang welas asih dalam hati kita kepada sesama manusia dan perkecil ruang untuk rasa "keakuan" dalam diri kita. Islam adalah rumah besar yang cukup untuk semua orang yang mau berbagi ruang. 

Di halaman 21, penulis menghimbau agar kita menjadi muslim yang sadar mengenai isu kesehatan mental. 

Yapp!! Kesehatan mental bukanlah isu yang diada-adakan, bukan pula sebuah propaganda asal "barat" yang perlu kita perangi. Permasalahan kesehatan mental adalah permasalahan nyata di lingkungan kita, termasuk lingkungan muslim. Ya, muslim tidak kebal terhadap masalah kesehatan mental. Depresi, kecemasan, stres, trauma, burn out bisa terjadi kepada kita, manusia, mau apapun agamanya. Menganggapnya tidak ada, tidak akan membuatnya menjadi tiada, hanya membuatnya menjadi tidak terlihat dan tidak terselesaikan. Kita perlu menyadarinya dan terhubung dengan kenyataan itu agar masalah tersebut tidak menjadi bom waktu di kemudian hari.

Mari berlatih untuk keluar dari gelembung kita dan beranikan diri menghadapi kenyataan hidup yang jauh dari kondisi ideal. Kekecewaan, kegagalan, kepahitan, keterpurukan, kerusakan, yang menjadi ciri khas kehidupan dunia, bukanlah sesuatu yang perlu membuat kita bersembunyi di balik dinding tinggi atau melarikan diri dari dunia. Ketidaksempurnaan hidup hadir dimaksudkan untuk "mengundang" kesempurnaan Allah. 

"Luka adalah celah agar cahaya bisa memasukimu". Begitu kata Jalaludin Rumi. 

Dunia dan akhirat bukanlah dua hal berlawanan, tetapi saling berhubungan erat. Kita bisa jadi orang yang punya pengetahuan luas tentang dunia tanpa melupakan akhirat. Kita juga bisa memprioritaskan akhirat tanpa memutus diri dari kehidupan dunia. Kuncinya bukanlah memutus diri, melainkan membangun hubungan (attachment) yang sehat dengan keduanya (dunia akhirat).

Di halaman 38, penulis membahas tentang dampak pandangan yang menihilkan pengalaman emosi manusia (terutama yang dikaitkan dengan ajaran agama). Seperti larangan menangis saat bersedih atau saat berduka kehilangan orang yang dicintai dengan mengatasnamakan hadist dari Rasul. Padahal, Rasul pun menangis ketika kehilangan istri tercintanya, Khadijah, dan ketika kehilangan putra tercintanya, Ibrahim. 

Menangis adalah anugrah yang diberikan Allah. Menangis sebenarnya bentuk mekanisme paling sederhana untuk mengungkapkan sebuah perasaan yang terlalu rumit untuk disampaikan lewat tulisan ataupun lisan. Bayangkan jika mekanisme ini tidak ada. Terasa sangat lelah bukan? Dengan menangis, kita hanya perlu mengalirkannya. Yang tidak boleh itu adalah meratapi, menangis sambil meraung-raung, berteriak bahkan sampai menyakiti diri sendiri atau menyakiti orang lain. 

Meniadakan emosi (sedih, marah, senang, takut, dll) hanya akan berdampak buruk bagi kita, diantaranya: 
1. Menjadi sulit berempati. Jika terus menerus dilarang menangis atau dilarang merasakan emosi, kita jadi tak belajar untuk mengenali emosinya. Seseorang yang tak terbiasa mengenali emosinya, akan sulit mengenali emosi orang lain. Akibatnya, ia menjadi sulit berempati. Malah jadi apatis.

2. Menjauhkan diri dari lingkungan agama. Karena ada perasaan bahwa komunitas muslim tidak bisa memahami kondisi kita (hanya bisa judging), akhirnya kita mencari tempat lain yang lebih ramah terhadap pengalaman kita. Sangat disayangkan apabila kita akhirnya menemukan "rumah" pada lingkungan yang negatif dan menjauhkan kita dari Allah dan ajaran Islam. 

Biasakanlah diri untuk menghadapi emosi-emosi yang hadir. Izinkan diri untuk merasakan semuanya. Karena hanya dengan begitu, kita punya kesempatan untuk mengenali apa fungsi dari emosi dan memiliki keahlian untuk mengendalikannya.

Jika kita sudah mampu mengendalikannya, maka segala emosi itu justru akan membuat kita semakin bijaksana. Bahkan lebih dekat dengan Allah.

Rasa senang membuat kita teringat pada kasih sayang Allah. Rasa sedih membuat kita teringat pada harapan dan pertolongan Allah. Rasa takut membuat kita berlindung kepada perlindungan dan penjagaan Allah. Rasa marah membuat kita teringat pada pemaafan dan pengampunan Allah. 

Jika kita pandai merasakan emosi kita sendiri, maka kita akan lebih pandai untuk merasakan emosi orang lain. Kita akan lebih terbiasa untuk berempati dan tidak mudah merendahkan perasaan orang lain. 

Wallahu a'lam. 

Selengkapnya bisa baca sendiri bukunya ya, banyak sekali hal yang dibahas di buku ini. Hal-hal esensial yang bisa merubah sudut pandang kita hingga kita bisa berubah menjadi muslim yang lebih bertumbuh dan berkembang. 

Buku ini sudah tersedia di toko buku online dan Gramedia. 
Bisa juga membelinya melalui aku ya. DM saja di IG @hilma_humairah

Semoga kita dimampukanNya untuk menjadi muslim/muslimah yang sehat mental dan pandai berempati terhadap sesama. Menjadi manusia yang mampu memanusiakan manusia. Menjadi wasilah cahaya bagi orang-orang di sekitar kita melalui lisan dan tangan perbuatan kita. Aamiin Ya Allah Yaa Mujiibassailin. 

Rating : 4,99/5 (opini pribadi)

- Hilma Humairah -




Komentar