KEBERANIAN UNTUK MELIHAT SANG GAJAH

Oleh : Hilma Humairah


Bismillah..

Maha Baiknya Allah, Dia telah mengaruniakan akal, pikiran dan hati nurani kepada kita (manusia) di samping kemampuan dan kekuatan fisik. Semua ini ditujukan agar kita bisa belajar banyak hal dari segala yang ada di sekitar kita, selama hidup kita. Termasuk belajar dari kesalahan, baik belajar dari kesalahan yang telah kita perbuat sendiri maupun belajar dari kesalahan orang lain.


Sejatinya, manusia memiliki fitrah untuk melakukan kebaikan dan cenderung kepada kebaikan. Sejahat apapun manusia, pasti selama hidupnya ia pernah berbuat baik. Manusia juga memiliki tendensi untuk membanding-bandingkan dirinya dengan manusia lain. Hal ini bagus, apabila selama perbandingan yang dilakukannya adalah untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitas dirinya agar menjadi lebih baik daripada sebelumnya.


Namun, yang sering kali terjadi, perbandingan ini malah menjerumuskan kita menjadi pribadi yang tidak jauh lebih baik, bahkan menjadi lebih buruk. Kita menjadi orang yang lalai, malah lebih sibuk mengurusi hidup orang lain, daripada mengurusi hidup kita sendiri. Contoh dalam hal ini banyak. Misal, kita melihat ada teman yang lebih sukses di mata kita jika dibandingkan dengan diri kita, hati kita malah terasa panas, “kok bisa sih dia mendapatkan itu, sedangkan aku nggak”, hal ini yang akan membuat kita gagal fokus. Kita menjadi minder, iri, hingga mendengki, dan akhirnya merasa bahwa Allah tidak adil kepada hamba-Nya. Atau boleh jadi, yang sering kali terjadi adalah kita malah mencari-cari kelemahan dan kesalahan dari orang lain hanya untuk membuat kita merasa lebih baik darinya agar hati kita menjadi lebih tenang (ketenangan yang semu). Contoh, “Pantes aja dia sukses, toh orang tuanya udah kaya raya, dia gampang dapat fasilitas. Beda sama aku, aku kan bukan anak orang kaya, wajar nggak sesukses dia”. Padahal, boleh jadi orang sukses yang dibicarakan itu sama sekali tidak mendapat kemudahan atau fasilitas dari orang tuanya seperti prasangka kita, tetapi ia sukses atas usahanya sendiri. Ia mungkin lebih gigih usaha dan doanya, rela jatah waktu tidurnya berkurang, rela kehilangan waktu untuk bersantai-santai, rela jarang berkumpul dengan keluarga dan teman-temannya, rela mengalami kegagalan dan jatuh bangun berkali-kali. Gagalnya fokus kita ini bisa membuat kita lalai untuk memperbaiki diri. Alih-alih semangat berubah ke arah yang lebih baik, kita malah merasa tidak berdaya, tidak seberuntung yang lainnya, dan merasa selalu menjadi korban di dalam kehidupan.


Jika kita terus menerus bermental korban seperti itu, maka kita akan lupa untuk berkaca, lupa untuk melakukan introspeksi diri. Kita jadi cenderung menilai orang lain dengan negatif, tetapi menilai diri kita dengan segala macam pembenaran, meskipun kenyataannya kita telah melakukan kesalahan. Iya, kita jadi lebih mudah melihat cela yang ada pada diri orang lain daripada melihat cela yang ada pada diri kita sendiri. Seperti dalam peribahasa, “semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak”.


Keberanian untuk melihat “sang gajah” ini merupakan langkah awal yang sangat penting untuk kita lakukan. Agar kita sadar akan hal-hal apa saja yang telah menghambat pertumbuhan dan perkembangan hidup kita, sampai-sampai kita merasa, “hidupku kok begini-begini aja ya”. 


Keberanian untuk melihat sang gajah akan memunculkan kesadaran diri. Kesadaran diri ini yang akan membuat kita memiliki kemampuan untuk mengenali dan memahami diri sendiri secara penuh dan utuh, mengenai pikiran, emosi, dan perilaku kita secara jujur dan terbuka, tanpa terpengaruh oleh judgement orang lain atau judgement diri kita terhadap diri kita sendiri. Kemampuan ini memungkinkan kita untuk tetap sadar terhadap apa yang kita lakukan, apa yang kita inginkan, apa yang mampu dan tidak mampu kita lakukan, pada akhirnya membuat kita bisa berdamai dan menerima diri kita sendiri apa adanya. 


Penerimaan dan kedamaian terhadap diri sendiri inilah yang akan membuat kita berhenti menyalahkan orang lain atau menyalahkan keadaan atas “kesialan” atau “ketidakberuntungan” yang sedang menimpa kita. Penerimaan dan kedamaian terhadap diri sendiri inilah yang akan membuat kita tidak hanya sibuk berteriak menggembor-gemborkan (menyuruh) agar orang lain mau/bisa berubah, tetapi juga membuat diri kita bersedia untuk melangkah menuju perubahan ke arah yang lebih baik. 


Kesediaan diri bisa menjadi energi yang lebih kuat bagi kita, sebab kita semangat berubah bukan untuk/karena orang lain, melainkan karena adanya kemauan dari diri kita sendiri untuk fokus berubah menjadi lebih baik dari hari ke hari, dari waktu ke waktu selama kita hidup. 


Semoga kita senantiasa diberikan hidayah dan petunjuk-Nya serta semoga kita dimampukan untuk menjadi pribadi yang semakin mulia di hadapan-Nya. Aamiin.


“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri."  (QS. Ar-Ra'du ayat 11)


Komentar