SAMPAH

By: Hilma Humairah

Pernahkah anda merasa tiba-tiba menjadi gundah gulana, galau, resah gelisah, riweuh bin rudet tanpa ujung pangkalnya, atau marah-marah tanpa sebab, uring-uringan, atau lemes dan malas sekali beraktifitas. Hanya karena teringat masa lalu, mendengar perkataan orang lain, membaca komentar orang lain, atau melihat sikap negatif orang lain?
Saya yakin semua orang pernah mengalaminya, termasuk saya, anda, dia dan mereka.

Yah moment-moment dimana kita tanpa sadar telah terpengaruh vibrasi (getaran) dari sampah emosi negatif. Sehingga frekwensi getaran pribadi kita jadi turun, dan emosi kita masuk dalam skala emosi rendah.

Sebagaimana teko yang hanya mengeluarkan isi sesuai dengan yang ada di dalamnya. Misal jika isinya air kotor, maka ketika kita tuang teko tersebut, yang keluar adalah air kotor. Dan ketika air bening yang ada di dalam teko, maka yang keluar juga air bening. Maka demikianlah ekspresi yang keluar dari seseorang. Jika bersih hatinya, maka kata-katanya juga akan membuat hati orang lain sejuk, tenang, damai, atau bersemangat. Namun, jika isinya sudah penuh dengan tumpukan sampah, maka yang keluar juga kata-kata sampah, sumpah serapah, keluhan, kemarahan, sindiran, dll.

Ketika di dalam ruang hati kita tersimpan banyak sekali sampah, seperti kebencian, kekecewaan, luka batin, kemarahan, kecemburuan, kesedihan, sakit hati, perasaan bersalah dan masih banyak emosi negatif lainnya. Maka niscaya diri kita tidak akan pernah dapat merasakan ketenangan dan kebahagiaan. Ibarat ruangan yang terlalu banyak sampah di dalamnya, ruangan tersebut menjadi sempit, pengap, bau dan tidak menyenangkan untuk ditinggali.

Percuma ketika kita berusaha melakukan banyak hal untuk mendapatkan kebahagiaan, tetapi kita tidak pernah mau membuang sampah emosi tersebut dari diri kita. Hasilnya akan sama saja. Kita akan kesulitan merasa bahagia.

Percuma kita terus mencari pasangan ideal nan baik hati, apabila dalam diri kita masih menyimpan kekecewaan, kegetiran, dan luka batin yang diakibatkan dari pasangan kita yang lama, misalnya. Karena selama kita masih menyimpan sampah emosi tersebut, kita tidak akan mampu mempercayai dan mencintai 100%. Mengapa? karena ruang di hati kita masih penuh dengan sampah emosi masa lalu, sehingga sulit ada ruang untuk menerima kesempatan yang baru.
Ibarat kita berada di dapur, di mana terhidang makanan kesukaan kita, tetapi tangan kita terus memegang sampah yang terisi penuh dengan kotoran. Maka yang terjadi adalah kita tidak dapat menghirup wangi sedapnya masakan kesukaan kita, karena kita hanya mencium bau kotoran yang ada di tangan kita.

Permasalahannya adalah kita manusia pada umumnya adalah KOLEKTOR sampah. Seringkali ketika kita merasakan kesedihan, kekecewaan, dan kemarahan, baik kita sadari maupun tidak, kita seringkali tidak berniat membuang sampah tersebut. Semua di simpan di hati. Kekecewaan kita terhadap ayah, ibu, pasangan, anak, bos, rekan kerja, teman, dan sebagainya kita simpan dengan sangat baik. Tidak hanya di simpan, kita selalu mengingat-ngingat kembali dengan jelas setiap peristiwa itu di kepala kita. Kita menikmati setiap sampah itu. Persis seorang kolektor yang menikmati koleksinya.

Dan kebiasaan setiap kolektor, kita pasti akan terus menambahkan koleksi kita. Tidak akan dikurangi, hanya ditambahi.
Kalau demikian caranya, bagaimana kita berharap bisa bahagia?
Lalu bagaimana caranya kita bisa membuang sampah emosi kita?
Seperti halnya membersihkan rumah, kita dapat membersihkan ruang hati kita dari sampah emosi dengan langkah sederhana.

Yaitu BUANGLAH SAMPAH PADA TEMPATNYA. Jangan buang sampah sembarangan karena hanya akan merugikan diri, orang lain, juga lingkungan sekitar.

Untuk bisa membuangnya, kita butuh kejujuran kepada diri kita sendiri untuk mengakui apa yang kita rasakan. Ketika kita marah, akuilah kepada diri kita bahwa kita marah dengan tindakan dia atau mereka. Kalau kita merasa benci dengan pasangan, akuilah kita benci dengan apa yang dilakukannya kepada kita. Akui itu.

Seringkali kita tidak pernah jujur. Kita seringkali merasa mengakui perasaan kita yang sesungguhnya adalah dosa dan salah. Kalau kita mengakui kita benci orangtua kita, maka kita dosa. Kita tidak seharusnya. Pertentangan dan pertempuran batin inilah yang akhirnya sering menggrogoti kebahagiaan kita dari dalam. Tetapi tanpa pernah mengakuinya, kita tidak akan pernah dapat membuang perasaan tersebut dan membangun hubungan yang baik kembali.

Jujur dan mengakui sampah yang kita rasakan adalah langkah pertama untuk berdamai dengan diri kita sendiri.
Setelah mengakui, maka ekspresikanlah perasaan emosi tersebut. Keluarkanlah. Tetapi yang harus diingat adalah kita harus mengekspresikan ke orang yang tepat. Kalau tidak tepat, maka hal itu tidak akan berkhasiat optimal. Jika kita mengalami kesulitan untuk mengekspresikan dengan orang yang bersangkutan secara berhadapan, maka tuliskan sebuah surat yang mewakili perasaan kita tersebut dengan sebuah bahasa yang santun.

Ingat! Jangan berharap orang lain tersebut bereaksi tertentu atau berubah, karena seringkali malah kita akan kecewa di ujungnya. Kita mengekspresikan ini bukan demi orang lain tersebut mengakui salah, tetapi demi kita mengeluarkan sampah emosi yang sudah menumpuk. Permasalahan mereka menerima, menolak, berubah atau tidak, itu adalah urusan mereka. Kebahagiaan kita bukan berada di tangan mereka.

Jika masih sulit mengungkapkan ke orang yang bersangkutan, maka coba buanglah sampah2 itu dengan mengekspresikannya saat sendirian, misal dengan menulis. Tulis semua kemarahan, kebencian, emosi yang dirasakan di secarik kertas. Setelah semua terluapkan, bakar kertas itu. Atau berbicara kepada tembok/boneka, katakan apapun yang ingin kita katakan, sampai kita merasa lega dan getaran emosi menjadi lebih stabil.

Hati ibarat rumah, rumah kita tidak cukup dengan hanya dibersihkan satu kali, karena debu dan sampah pasti akan selalu ada setiap saat. Maka untuk memiliki rumah yang nyaman ditempati, maka kita harus secara berkala untuk membersihkannya.

Sepanjang kita hidup, kita pasti akan menemui kejadian di mana orang lain akan menyakiti kita, baik sengaja maupun tidak. Hal itu adalah kenyataan hidup yang harus kita hadapi. Oleh karena itu, sampah emosi pasti akan selalu ada. Maka kita harus secara rutin memastikan kita membuang sampah emosi dari ruang hati kita.

Ingat! cinta, masa depan dan kebahagiaan itu bukanlah sampah. Yang sampah itu adalah luka di hati kita. Maka, Buanglah sampah pada tempatnya!!

Komentar