APOTEKER

Saya mau curhat. Kapan lagi nih si hilma bisa ngeluarin unek2 sefrontal ini :D

APOTEKER

By: Hilma Humairah

Diantara kegalauan dan kebingungan,  haruskah saya mengambil profesi apoteker setelah saya menyelesaikan studi saya di fakultas farmasi selama 4 tahun?
Saya memikirkan banyak hal mengenai ini. Banyak sahabat bertanya,  kenapa ga lanjut apoteker? Hmm..  Kenapa yaa.  Belum ada biaya. Ah bohong. Terus apa? Ya jujur saya belum mantap untuk memiliki profesi sebagai apoteker (untuk saat ini).  Banyak sekali pertimbangan. (dasar si hilma kebanyakan mikir,  ga bakal maju2 kalau gitu mah atuh).

Menjadi Apoteker bukan perkara mudah. Pelajarannya sungguh, bikin meleleh otak. Tak jarang mahasiswa mengundurkan diri di tengah perjalanan perkuliahan, karena tidak sanggup. Bukan masalah biaya, beberapa teman saya mundur (sungguh-sungguh mengundurkan diri dari Fakultas Farmasi) karena tidak sanggup menerima pelajarannya. Menjadi Apoteker pun kadang bukanlah pilihan pertama, seperti (sebut saja) dokter. Tanyalah mereka yang kuliah Farmasi, atau yang sudah jadi Apoteker sekarang, tanyalah. Mengapa memilih profesi Apoteker?

Apoteker adalah profesi baru bagi orang Indonesia, entah kalian sependapat dengan saya atau tidak, sebelum Indonesia merdeka, tidak ada apoteker yang orang Indonesia. Apoteker pada masa sebelum kemerdekaan adalah orang Eropa, mereka lantas banyak yang pergi ketika masa kependudukan Jepang dan sama sekali tidak ada apoteker. Yang ada di Indonesia saat itu adalah asisten apoteker. Bahkan sampai Indonesia merdeka pun belum ada apoteker hingga tahun 1953, muncul 2 orang apoteker yang merupakan orang Indonesia yang baru lulus dari Departemen Farmasi Faculteit voor Wiskunde and Natuurwetenschapen Universitas Indonesia. Bukan apa-apa, saya hanya berpikir mungkin orang bingung bagaimana memperlakukan apoteker. Atau malah apoteker sendiri bingung bagaimana harus bersikap.

Berbeda dengan dokter, sejak jaman pendudukan Belanda, sudah banyak orang Indonesia yang menjadi dokter. Bahkan, ada dari para dokter pribumi itulah yang memprakarsai adanya sumpah pemuda tanggal 28 Oktober 1928.

Pada tanggal 24 September 2014 lalu, saya membaca sebuah artikel tentang menteri kesehatan yang lalu, Ibu Nafsiah Mboi, marah karena peredaran antibiotika yang tidak terkendali sehingga kita harus menghadapi ancaman resistensi bakteri terhadap antibiotika yang ada di pasaran. Ibu Nafsiah Mboi menuding hal ini karena apoteker komunitas yang mudah memberikan antibiotika pada masyarakat.

Beliau berkata, "Integritas seorang apoteker harus dikembalikan. Profesi harus punya harga diri untuk bisa menentukan ini yang melanggar dan tidak.”

Serendah itu kah harga diri seorang apoteker sehingga seorang menteri sampai harus berkata seperti itu pada sebuah profesi? Saya akui, adalah perbuatan yang salah ketika seorang apoteker menjual antibiotika tanpa resep dokter. Sebagai menteri kesehatan yang seharusnya tidak memposisikan diri sebagai dokter saja, pernahkah beliau membayangkan bahwa beliau adalah seorang apoteker?

Apoteker adalah sebuah profesi. Seharusnya, orang membayarnya untuk apa yang dia tau. Bukan apa yang dia jual. Tetapi sekarang, siapa yang mau mengeluarkan uang untuk konsultasi mengenai obat terutama di masyarakat? Dan apoteker di lapangan dituntut oleh pemilik sarana apotek atau direksi rumah sakit adalah, seberapa banyak obat yang bisa dijual dan seberapa banyak uang yang bisa didapat. Dalam kondisi seperti itu, bagaimana tidak seorang apoteker terbisik untuk menjual obat-obat keras, termasuk antibiotika, pada masyarakat? Kalau apoteker tidak menjual obat, darimana atasan mereka bisa mendapatkan uang untuk menggaji mereka?

Saya melihat dan mendengar bagaimana obat-obatan di Indonesia ini bisa beredar tanpa didampingi apoteker. Lagipula, tidak ada reward yang berarti bila apoteker menjalankan tugasnya dan tidak ada punishment yang mengancam bila apoteker tidak menjalankan fungsinya. Sehingga, apoteker banyak yang memilih mencari reward di tempat lain dan tidak menjalankan fungsinya.

Kalau ada yang bertanya, apakah apoteker adalah penjual obat atau profesi pelayan masyarakat, setelah mendapat paparan di atas, saya sendiri tidak yakin dengan jawabannya.

Saya pernah melihat apoteker yang kesulitan mencari obat dengan merek tertentu untuk pasien padahal merek tersebut sedang langka di pasaran dan mereka memiliki obat serupa tetapi merek lain di instalasi farmasi itu. Tetapi obat dengan merek lain tersebut tidak digunakan karena dokternya tidak mau. Apakah bagi dokter, pekerjaan apoteker adalah mencari obat-obat yang mereka inginkan? Tidak kah itu menyedihkan? Saya sampai berfikiran negatif saat itu. Saya bertanya dalam hati, “Apa sih yang perusahaan merek obat itu janjikan pada dokter ini sampai dia tega menyusahkan orang?”

Kalau saya harus menjadi apoteker,  saya hanya ingin bisa bekerja dengan maksimal. Apoteker bukan hanya penyedia obat-obatan yang diresepkan oleh dokter. Saya ingin saya sebagai apoteker dibayar untuk melakukan kontrol dan pengawasan terhadap obat-obatan dan bukan untuk menjual obat-obatan.

Selama 4 tahun saya belajar mengenai obat-obatan, saya menjadi tidak suka menyarankan orang mengkonsumsi obat kecuali di saat-saat tertentu. Teman yang berprofesi sebagai dokter, pasti setuju dengan saya bahwa kita harus mendahulukan pengobatan non-farmakologi, baru memberikan pengobatan farmakologi bila ternyata pengobatan non-farmakologi tidak bekerja. Memasukkan zat asing dalam tubuh bukan lah tanpa resiko, seringan apapun kata orang. Saya membayangkan bila target kerja apoteker pengelola apotek masih ada peningkatan omset, saya tidak akan bisa menjadi apoteker pengelola apotek. Saya tidak suka profesi saya disebut sebagai pengambil kesempatan dari orang yang sedang terkena musibah.

NB: maaf bila ada yang tidak berkenan dengan tulisan ini. Jika ingin mengritik dan berkomentar silahkan berkomentar dengan bahasa yang sopan.

Komentar