KARENA UKURAN KITA TAK SAMA

Seperti sepatu yang kita pakai, tiap kaki memiliki ukurannya.
Memaksakan tapal kecil untuk telapak besar akan menyakiti.
Memaksakan sepatu besar untuk tapal kecil merepotkan.
Kaki-kaki yang nyaman dalam sepatunya akan berbaris rapi-rapi.

Ingatlah, kawan. Aku bukan kau. Dan kau bukanlah aku. Tak bisa kau paksakan pendapatmu itu kepadaku. Tak bisa pula kupaksakan pendapatku itu kepadamu.

Sadarlah, kawan. Aku bisa lelah dituntut begini begitu. Aku lelah dituntut harus ini harus itu. Aku lelah dituntut harus jadi seperti si ini harus seperti si itu. Lihatlah diriku sebagaimana diriku karena aku bukan kau, dia atau mereka.

Dalam Dekapan ukhuwah, kita punya ukuran-ukuran yang tak serupa. Kita memiliki latar belakang yang berlainan. Maka tindak utama yang harus kita punya adalah; jangan mengukur orang dengan baju kita sendiri, atau baju milik tokoh lain lagi.

Dalam dekapan ukhuwah setiap manusia tetaplah dirinya. Tak ada yang berhak memaksa sesamanya untuk menjadi sesiapa yang ada dalam angannya.

Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat tulus pada saudarimu yang sedang diberi amanah. Tetapi jangan membebani dengan cara membandingkan dia terus-menerus kepada Aisyah apalagi Khadijah.

Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat pada saudara/i mu yang tengah diamanahi kekayaan. Tetapi jangan membebaninya dengan cara menyebut-nyebut selalu kisah berinfaqnya ‘Abdurrahman ibn ‘Auf.

Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat kepada saudara/i mu yang dianugerahi ilmu. Tapi jangan membuatnya merasa berat dengan menuntutnya agar menjadi Zaid ibn Tsabit yang menguasai bahasa Ibrani dalam empat belas hari.

Sungguh tidak bijak menuntut seseorang untuk menjadi orang lain di zaman yang sama, apalagi menggugatnya agar tepat seperti tokoh lain pada masa yang berbeda. ‘Ali ibn Abi Thalib yang pernah diperlakukan begitu, punya jawaban yang telak dan lucu.

“Dulu di zaman khalifah Abu Bakar dan ‘Umar” kata lelaki kepada ‘Ali, “Keadaannya begitu tentram, damai dan penuh berkah. Mengapa di masa kekhalifahanmu, hai Amirul Mukminin, keadaanya begini kacau dan rusak?”

“Sebab,” kata ‘Ali sambil tersenyum, “Pada zaman Abu Bakar dan ‘Umar, rakyatnya seperti aku.
Adapun di zamanku ini, rakyatnya seperti kamu!”

Dalam dekapan ukhuwah, segala kecemerlangan generasi "Cahaya" memang ada untuk kita teladani. Tetapi caranya bukan menuntut orang lain berperilaku seperti halnya Abu Bakar, ‘Umar, “Utsman atau ‘Ali.

Sebagaimana Nabi tidak meminta Sa’d ibn Abi Waqqash melakukan peran Abu Bakar, fahamilah dalam-dalam tiap pribadi. Selebihnya jadikanlah diri kita sebagai orang paling berhak meneladani mereka. Tuntutlah diri untuk berperilaku sebagaimana para salafush shalih dan sesudah itu tak perlu sakit hati jika kawan-kawan lain tak mengikuti.

Sebab teladan yang masih menuntut sesama untuk juga menjadi teladan, akan kehilangan makna keteladanan itu sendiri. Maka jadilah kita teladan yang sunyi dalam dekapan ukhuwah.

Ialah teladan yang memahami bahwa masing-masing hati memiliki kecenderungannya, masing-masing badan memiliki pakaiannya dan masing-masing kaki mempunyai sepatunya. Teladan yang tak bersyarat dan sunyi akan membawa damai. Dalam damai pula keteladannya akan menjadi ikutan sepanjang masa.

Selanjutnya, kita harus belajar untuk menerima bahwa sudut pandang orang lain adalah juga sudut pandang yang absah.

Tempaan pengalaman yang tak serupa akan membuatnya lebih berlainan lagi antara satu dengan yang lain.

Seyakin-yakinnya kita dengan apa yang kita pahami, itu tidak seharusnya membuat kita terbutakan dari kebenaran yang lebih bercahaya.

Imam Asy Syafi’i pernah menyatakan hal ini dengan indah. “Pendapatku ini benar,” ujar beliau, ”Tetapi mungkin mengandung kesalahan. Adapun pendapat orang lain itu salah, namun bisa jadi mengandung kebenaran.”

~ Hilma Humairah ~

Komentar