SINDIRAN SEPAHIT NIKMATNYA KOPI



Doa merupakan sebuah keharusan manusia yang masih mengakui keberadaan Tuhan. Tuhan yang menjadi awal dan akhir manusia yang memiliki seluruh isi semesta merupakan sebaik-baik tempat manusia meminta. Ketinggian doa menjadi sebuah kepastian jika seorang hamba melakukannya maka akan memperlihatkan eksistensi manusia sebagai seonggok makhluk yang tidak berdaya dalam hidupnya yang kemudian duduk sujud tersungkur meminta kepada Tuhannya.
Selain keistimewaan doa yang juga menjadi solusi dari Tuhan untuk merubah takdir seorang hamba doa dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun. Karena Tuhan Maha Mendengar bahkan apa yang dikatakan oleh seorang manusia jauh di dalam lubuk hatinya.
Selama ini dengan penjelasan yang senantiasa kita dapatkan doa merupakan cara mendekati Tuhan dengan berharap penuh, merintih-rintih meneteskan air mata akan harapan kita pada kebaikan Tuhan dan ampunan dosa-dosa yang tidak bisa kita hindari. Dalam kehidupan kadang kita tak sedikitpun berdoa dengan nada yang sedikit menyindir. Menyindir diri sendiri bahkan perilaku-perilaku duniawi kita.
Jika kita membaca terjemahan ayat-ayat Al qur’an dan hadis-hadis Rasulullah maka akan kita dapatkan penuh dengan sindiran dan peringatan kepada manusia. Sebut saja Ayat Al qur’an yang berisi tentang sindiran Allah kepada orang-orang yang mengaku beriman “apakah manusia mengira, bahwa manusia dibiarkan mengatakan “kami telah beriman”, sedangkan mereka tidak di uji? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, sehingga Allah mengetahui orang-orang yang benar dan pendusta” (Q.S. Al Ankabut (29): 2-3).
Ayat yang sangat menyindir terhadap lidah yang tak bertulang, mudah saja melontarkan perkataan tanpa melihat jika dalam keimanan begitu banyak hal yang harus di lalui untuk mencapai Tuhan. Sindiran juga tak luput dari kekasih Tuhan manusia paling mulia, Muhammad SAW. Sebuah hadisnya yang sangat terkenal tentang ciri-ciri orang munafik yaitu berdusta, ingkar janji, dan berkhianat bukan semata pendidikan akhlak tapi juga sindiran secara langsung kepada beberapa sahabat di sekitarnya yang ternyata tidak semua baik dan mengikuti Rasulullah sebagaimana mestinya termasuk kepada seluruh manusia yang hidup sesudah beliau wafat.
Bahkan menantu Rasulullah yang masuk dalam golongan ahlul bayt Ali bin Abi Thalib juga menyindir dengan menjadikan dirinya sebagai taruhan melalui sebuah ungkapan yang sampai hari ini sangat relevan dengan kondisi penguasa yang bergelimangan materi “aku adalah pemimpin yang makan minum dan berpakaian seperti umatku yang paling lemah”
****************
Seperti biasa disaat-saat santai, warung kopi (cafe deh biar kekinian) adalah sebuah hal yang akrab dengan orang-orang sebagai tempat diskusi dan mengakses informasi baik lewat teman ngopi maupun lewat jaringan internet. Sebuah meja, duduklah dua orang pemudi dengan masing-masing di depan mereka terdapat komputer dan secangkir kopi.
Pemudi dengan berbagai lahapan buku-buku gerakan bahkan buku agama sekalipun akan menjadi makanannya jika dia mau. Kepala penuh dengan konsep dan ide adalah sebuah harta berharga bagi masa depan peradaban.
Salah satu pemudi tampak membuka komputer dan melihat wall facebook miliknya, saat itu juga dia menulis bait-baik doa yang sangat puitis sebagai statusnya. Berselang lima menit sudah menerima 20 tanda jempol like teman-teman FBnya. Sementara teman yang berada dihadapannya tampak tenang membaca status-status temasuk status temannya.
“mantap sekali doamu kawan, permohonan agar perjuanganmu tidak sia-sia, doa yang puitis berbalut konsep gerakan dari buku-buku yang pernah kita baca” kata pemudi itu setelah membaca status FB temannya yang berupa doa perjuangan.
“harus kawan gerakan harus lahir dari konsep yang pernah kita pelajari dengan waktu santai begini dan kopi yang bisa memberi inspirasi lahirlah puitisasi itu kawan hehehehee” jawab temannya dengan senyuman lebar.
"aku juga mau berdoa kawan, semoga cepat di ijabah dan menyempurnakan doamu” katanya sambil menatap temannya.
Mulailah dia berdoa di hadapan temannya “Ya Allah ampuni kami yang hari ini masih bisa duduk tenang dengan kenikmatan secangkir kopi, menikmati ruangan cafe ini, menikmati pakaian yang melekat pada tubuh kami hingga kami merasa nyaman, sementara di luar sana masih banyak saudara-saudara kami yang berjuang penuh keringat bahkan berdarah hanya untuk sesuap nasi, masih banyak saudara kami di luar sana yang berpakaian tidak layak dan berjalan tanpa alas kaki di bawah terik mentari bahkan rumah mereka tak layak huni”
“ampuni kami Allah karena banyaknya buku yang kami baca, banyaknya diskusi yang kami lakukan justru membuat kami buta melihat-Mu membuat kami bodoh dengan konsep-konsep besar untuk mendekati-Mu sementara kami meninggalkan mereka yang fakir, miskin dan lemah sebagai jalan menuju-Mu, aaamiiinn..,” berakhirlah doa pemudi itu di hadapan temannya.
Setelah mendengar doa temannya pemudi yang tulis status itu tunduk dan merasa malu, dia tak tahu mau bilang apa selain kata amin dengan nada lirih. Kopi yang nikmat di hadapannya terasa tak nikmat lagi, di hadapan matanya seakan berubah bagai racun hitam inspirasi tak bertuah. Jari dan lidahnya kaku entah mau menulis apa lagi dan mau bilang apa seakan buku-buku yang pernah di bacanya langsung musnah oleh bayangan-bayangan orang-orang yang lebih kesusahan dari dirinya. Ingin rasanya dia menghapus statusnya di wall FB yang sudah penuh jempol like hingga 30 orang.
Bait doa yang sangat menyindir itulah yang di dapatkannya hari itu dalam buaian kenikmatan dunia. Doa untuk perubahan mestilah menyindir keserakahan diri dan manusia untuk mengingatkan bukan hanya pada kasih sayang Tuhan tapi juga murkaNya dengan perilaku kita yang susah termakan sindiran.
“Kopi rasa pahitnya seirama sindiran, menusuk-nusuk hati”.

~Hilma Humairah~